SOCIAL LEARNING THEORY - WALTER MISCHEL AND MARTIN SELIGMAN

 

TEORI SOCIAL LEARNING – WALTER MISCHEL DAN MARTIN SELIGMAN

Walter Mischel
Martin Seligman

PSIKOLOGI KEPRIBADIAN II

Rifdah Nur Aqilah (19310410061)

Dosen Pengampu : Fx. Wahyu Widiantoro, S.Psi., M.A.

 

Walter Mischel dan Martin Seligman adalah seorang psikolog Amerika. Mischel lahir di Wina, Austria pada 22 Februari 1930 dan wafat di New York pada 12 September 2018. Sedangkan Seligman lahir di Albany, New York pada 12 Agustus 1942 (sekarang berusia 78 tahun).

A.                 TEORI WALTER MISCHEL

Walter Mischel pada awalnya menolak penjelasan teori sifat atas perilaku. Beliau justru mendukung gagasan bahwa aktivitas kognitif dan situasi spesifik mempunyai peranan yang penting dalam menentukan perilaku. Tetapi, Mischel telah mengajukan suatu rekonsiliasi antara pendekatan proses dinamis dengan pendekatan disposisi personal. Teori kepribadian kognitif – afektif ini berpandangan bahwa perilaku berasal dari disposisi personal yang relatif stabil dan proses kognitif – afektif yang berinteraksi dengan situasi tertentu (Feist & Feist, 2016).

Sistem kepribadian kognitif – afektif Mischel dilatar belakangi oleh beberapa faktor, diantaranya :

1.      Paradoks Konsistensi. Mischel berargumen bahwa perilaku tidak akan bisa memprediksikan sifat kepribadian dengan akurat. Jadi, perilaku itu bergantung pada situasi. Misalnya, ada kalanya siswa yang jujur justru menyontek saat ujian, padahal siswa itu tidak pernah mencuri atau suka berbohong.

2.      Interaksi Manusia – Situasi. Mischel melihat bahwa manusia bukanlah suatu wadah kosong tanpa ada sifat kepribadian yang bertahan di dalamnya. Sebagian besar orang memiliki konsistensi tertentu dalam perilaku mereka. Mischel terus menekankan bahwa situasi memiliki efek yang sangat penting pada perilaku. Pandangan ini mengindikasikan bahwa perilaku disebabkan oleh persepsi dirinya sendiri dalam situasi tertentu, serta keyakinan, nilai, tujuan, kognisi dan perasaan seseorang berinteraksi untuk membentuk perilaku.

3.      Sistem Kepribadian Kognitif – Afektif. Sistem kepribadian ini memprediksikan bahwa perilaku seseorang akan berubah dari satu situasi ke situasi lainnya. Sistem kepribadian kognitif – afektif terdiri dari 3 sistem, yaitu :

a.      Prediksi perilaku, Mischel berasumsi bahwa prediksi perilaku berada pada pengetahuan mengenai bagaimana dan kapan berbagai unit kognitif –afektif diaktivasi. Unit tersebut meliputi pengodean, ekspektasi, keyakinan, kompetensi, rancangan dan strategi regulasi diri, serta afek dan tujuan.

b.      Variabel situasi, orang-orang yang berbeda berperilaku dalam cara yang sama misalnya saat menonton adegan emosional dalam film yang menarik, orang akan membentuk perilakunya sesuai situasi. Di sisi lain, kejadian yang terlihat sama dapat menghasilkan reaksi yang sangat berbeda karena kualitas pribadi mengalahkan variabel situasional.

c.       Unit kognitif – afektif, meliputi semua aspek psikologis, sosial, dan fisiologis dari manusia yang menyebabkan interaksi dengan lingkungan mereka dengan pola variasi yang stabil. Mischel menawarkan rangkaian dari 5 variabel unit tersebut, yaitu strategi encoding – kompetensi dan strategi regulasi diri – ekspektasi dan keyakinan – tujuan dan nilai – respon afektif.

 

B.                  TEORI MARTIN SELIGMAN

Martin Seligman adalah seorang revolusioner dunia psikologi yang mengubah cara pandang dan cara berpikir para psikolog dunia. Seligman membuat semua psikolog harus berpikir ulang tentang pola pikir sang psikolog sendiri bukan pasiennya. Akhirnya, Seligman membuat buku psikologi yang mengubah negative psychology menjadi positive psychology. Sehingga Seligman terkenal dengan nama father of positive psychology, yaitu seorang psikolog pakar studi optimisme yang mempelopori revolusi dalam psikologi melalui gerakan psikologi positif. Selain itu, pada tahun 1988 Seligman juga seorang Presiden APA (American Psychological Association). Menurut Seligman (dalam Sunedi, 2018), ada 3 cara untuk bahagia, yaitu:

1.      Have a pleasant life (life of enjoyment). Milikilah hidup yang menyenangkan, dapatkan kenikmatan sebanyak mungkin. Cara ini mungkin ditempuh oleh kaum hedonis. Tapi, jika ini cara yang kita tempuh, hati-hati dengan jebakan hedonic treadmill (semakin kita mencari kenikmatan, semakin kita sulit dipuaskan) dan jebakan habituation (kebosanan karena terlalu banyak, misalnya makan es krim pada jilatan pertama sangat nikmat, tapi pada jilatan keduapuluh, kita jadi ingin muntah). Namun, pada takaran yang pas, cara ini sangat membahagiakan.

2.      Have a good life (life of engagement). Dalam bahasa Aristoteles disebut eudaimonia, yakni terlibatlah dalam pekerjaan, hubungan atau kegiatan yang membuat kita mengalami “flow”. Kita akan merasa terserap dalam kegiatan itu, seakan-akan waktu berhenti bergerak, kita bahkan tidak merasakan apapun karena sangat “khusyu”.

3.      Have a meaningful life (life of contribution). Milikilah semangat melayani, berkontribusi dan bermanfaat untuk orang lain atau makhluk lain. Menjadi bagian dari organisasi atau kelompok, tradisi atau gerakan tertentu. Merasa hidup kita memiliki makna yang lebih tinggi dan lebih abadi dibanding diri kita sendiri.

Dengan demikian, tujuan utama psikologi positif tidak hanya untuk memperbaiki. Namun juga membangun kembali kualitas dengan positif kemudian dirasa penting dan sangat aplikatif untuk digunakan di segala konteks profesional psikologi. Psikologi positif tidak menyangkal nilai-nilai dari penelitian yang sudah ada tentang psikopatologi. Begitupun dalam psikoterapi, penerapan prinsip-prinsip psikologi positif justru membantu para psikoterapis untuk mengarahkan para pasien dalam mengatasi gangguan-gangguan psikologis yang mereka alami (Seligman, 2001). Penerapan prinsip psikologi positif seperti optimisme, penemuan tujuan hidup, kejujuran, rasionalitas, keberanian, dan sifat pantang menyerah dalam psikoterapi ternyata mampu membantu pasien untuk mengatasi gangguan psikologis seperti depresi dan kecemasan yang mereka alami, dan juga membantu pasien untuk menumbuhkan harapan dalam melanjutkan kehidupan yang mereka jalani.

 

C.                  KESIMPULAN

Mischel mengusulkan agar kita berperilaku konsisten dengan cara yang sama dalam situasi yang berbeda, situasi ini mengarah pada konsekuensi yang sama dan memiliki arti sama untuk diri kita. Ketika perbedaan itu berbeda, maka kita belajar untuk membedakan antara berbagai situasi dan berperilaku yang sesuai. Mischel dalam buku pertamanya yang berjudul "The Marshmallow" tahun 2014, menciptakan faktor yang dapat mendinginkan dorongan kuat atau faktor impulsif. Mischel percaya bahwa kemampuan untuk menunda kebahagiaan sama dengan kemampuan untuk membuat pilihan yang baik di tengah godaan. Dengan begitu, kita dapat meraih kebebasan dan kebahagiaan dalam arti yang sesungguhnya, yaitu bebas dari faktor impulsif dalam pengambilan keputusan yang baik. Maksudnya, seseorang yang mengubah perilaku ke arah yang lebih positif akan mudah merealisasikan tujuan hidupnya. Hal ini sesuai dengan konsep kebahagiaan autentik Martin Seligman. Kebahagiaan autentik adalah kebahagiaan yang bisa diupayakan, tentunya bagi mereka yang mau berusaha untuk berbahagia yang sebenarnya.



Referensi :

Feist, J., & Feist, G.J. (2016). Teori Kepribadian. Jakarta : Salemba Humanika.

Sarmadi, Sunedi. (2018). Psikologi Positif. Yogyakarta : Titah Surga.

Seligman, Martin. (2001). Positive Psychology, Positive Prevention, and Positive Therapy. In C.R. Snyder & S.J. Lopez (Eds.), Handbook of Positive Psychology. New York : Oxford University Press.

 

- SEKIAN DAN TERIMA KASIH -

SOCIAL LEARNING THEORY - ALBERT BANDURA

 

SOCIAL LEARNING THEORY – ALBERT BANDURA




PSIKOLOGI KEPRIBADIAN II

Rifdah Nur Aqilah (19310410061)

Dosen Pengampu : Fx. Wahyu Widiantoro, S.Psi., M.A

 

Albert Bandura adalah seorang psikolog berkebangsaan Canada, Amerika Serikat yang lahir di Mandure, Canada pada 4 Desember 1925. Bandura memperoleh gelar sarjana psikologinya di Universitas of British Columbia di Vancouver tahun 1949. Kemudian, Bandura melanjutkan studinya di Universitas Lowa dan memperoleh gelar Ph.D tahun 1952. Saat ini, Bandura masih mengajar di Universitas Stanford (1953 – sekarang) dan Bandura pernah menjabat sebagai presiden APA pada tahun 1973. Teori Bandura dikenal dengan Social Learning Theory (teori belajar sosial). Teori Bandura ini berasumsi bahwa manusia bisa belajar berbagai sikap, perilaku, dan keterampilan melalui vicarious experiences (pengalaman langsung). Selain itu, Bandura juga berpendapat bahwa manusia lebih banyak belajar dari mengamati orang lain (observational learning).

Salah satu eksperimennya yang cukup dikenal adalah Bobo Doll Studies. Eksperimen Bandura ini bertujuan mengamati perilaku imitasi atau meniru pada anak-anak usia pra-sekolah terhadap perilaku agresif. Bobo doll adalah nama sebuah boneka yang apabila dipukul akan berdiri lagi karena pada titik gravitasinya diberi cairan. Dalam eksperimennya, Bandura membagi anak-anak ke dalam 2 kelompok. Kelompok A diperlihatkan seorang dewasa memukul, menendang, dan menjerit ke arah boneka bobo. Sedangkan kelompok B  diperlihatkan seorang dewasa yang berperilaku lemah lembut dan sayang pada boneka bobo. Setelah anak-anak tersebut menyaksikan perilaku orang dewasa dan ditinggalkan sendirian hanya bersama boneka bobo, kelompok A menunjukkan perilaku lebih agresif dari orang dewasa tadi, sedangkan kelompok B tidak menunjukkan perilaku agresif.




Dari eksperimen tersebut, Bandura menyimpulkan bahwa perilaku itu dipelajari berdasarkan proses mengamati dan imitasi atau modelling perilaku orang lain. Bandura percaya, pengamatan (observasi) terhadap perilaku orang lain membantu manusia belajar tanpa harus melakukan sesuatu secara langsung, dan kunci utama observational learning adalah modelling. Modelling bukan sekadar mengamati model atau mengulang perilaku yang diamati, namun juga melibatkan proses kognitif tentang penambahan maupun pengurangan perilaku yang diamati. Kemudian, ada 4 hal yang diperlukan dalam proses observational learning, yaitu attention (perhatian pada model), representation (tingkah laku yang ditiru dan diingat), behavioral production (hasil tingkah laku setelah memperhatikan dan mengingat), dan motivation (sesuatu yang menentukan tingkah laku).

Faktor yang mempengaruhi proses modelling diantaranya, karakteristik model (semakin mirip model, individu semakin mudah terpengaruh), karakteristik observer (orang yang memiliki konsep diri rendah cenderung mungkin meniru perilaku orang lain), dan konsekuensi dari tingkah laku yang ditiru (reward dan punishment). Bandura membahas tentang triadic reciprocal causation model yang merupakan bagian dari struktur kepribadian manusia, di mana perilaku manusia adalah hasil dari 3 variabel (person – environment - behavior). Istilah reciprocal (timbal balik) dipakai untuk menunjukkan interaksi yang triadic, bukan hanya satu arah. Behavior meliputi perilaku individu. Environment meliputi lingkungan luar yang berpengaruh. Dan person meliputi gender, status sosial, kondisi fisik, kognitif, dan lainnya. Tiga variabel tersebut tidak berperan seimbang, namun tergantung pada situasi yang terjadi. Meskipun tingkah laku dan lingkungan pada suatu situasi bisa saja menjadi kontributor terbesar pada performa seseorang, namun biasanya kognisi adalah kontributor terkuat individu melakukan suatu tindakan tertentu.

Selain itu, ada 2 hal yang berperan dalam transformasi perilaku seseorang yaitu chance encounters (pertemuan tak terduga dengan seseorang yang tak familiar atau tidak saling kenal), dan fortuitous events (kejadian yang tidak terduga). Menurut Bandura, manusia memiliki kapasitas untuk berlatih mengontrol kehidupannya, manusia memiliki regulasi diri bersifat proaktif, dapat merefleksikan diri, dapat mengorganisir diri, dan memiiki kekuatan untuk memengaruhi tindakannya sendiri agar mendapat konsekuensi yang diinginkan. Bandura juga membicarakan self-regulation (regulasi diri) di mana manusia memiliki kemampuan berpikir dan dengan kemampuan itu manusia memanipulasi lingkungan sehingga terjadi perubahan. Ada 2 faktor yang memengaruhi proses regulasi diri, yaitu faktor eksternal dan faktor internal.

Faktor eksternal meliputi standar untuk mengevaluasi tingkah laku, didapat dari lingkungan yang berinteraksi dengan pribadi, contohnya standar hal-hal yang dianggap baik oleh orang tua atau guru untuk menilai prestasi diri. Adapula reinforcement yaitu suatu insentif yang berasal dari lingkungan eksternal seperti pujian dan hadiah. Sedangkah faktor internal terdiri dari self-observation (apa yang diobservasi tergantung minat dan konsep diri seseorang), judgemental process (melihat kesesuaian tingkah laku dengan standar pribadi atau proses memberi penilaian), self-response (pengamatan dan penilaian seseorang akan menilai diri positif atau negatif lalu menghadiahi atau menghukum diri), dan self-effication (keyakinan terhadap kemampuan diri dalam melakukan tindakan tertentu). Efikasi diri seseorang berbeda-beda, tergantung situasi. Bisa saja efikasi dirinya tinggi di suatu situasi, namun rendah di situasi lain.

 Efikasi diri didapatkan, dipertahankan, dan ditingkatkan melalui kombinasi dari beberapa faktor, yaitu mastery experiences (pengalaman di masa lalu), social modelling (pengalaman yang tak terduga atau vicarious experiences), social persuasion (penilaian sosial yang memengaruhi diri), dan physical and emotional state (kondisi fisik dan emosi memengaruhi tinggi rendahnya efikasi diri). Kombinasi efikasi diri dengan lingkungan dapat memprediksi tingkah laku seseorang. Efikasi diri yang tinggi dan lingkungan yang responsif akan membuat seseorang menjadi sukses dan melakukan tugas sesuai kemampuannya. Sebaliknya, jika efikasi dirinya rendah dan lingkungan responsif, maka seseorang akan merasa depresi karena melihat orang lain sukses pada tugas yang dianggap sulit. Dengan efikasi diri yang tinggi dan lingkungan tidak responsif, seseorang akan berusaha keras mengubah lingkungan, melakukan protes, aktivitas sosial, bahkan melakukan perubahan. Begitupun, jika efikasi dirinya rendah dan lingkungan tidak responsif, maka seseorang akan menjadi apatis, mudah menyerah, dan tidak berdaya.

Yang terakhir, Bandura menyorot beberapa perilaku patologis yang dipelajari dan dipengarui oleh faktor kognitif, neurofisiologis, pengalaman yang mendapat penguatan, dan nilai fasilitatif dari lingkungan, diantaranya depresi karena regulasi diri salah dan standar pribadi terlalu tinggi di atas kemampuan individu, fobia karena efikasi diri rendah, dan agresi karena pengamatan terhadap model yang agresi dan pengalaman langsung dengan reinforcement negatif atau positif serta latihan atau perintah. Oleh karena itu, psikoterapi Bandura menggunakan terapi kognitif sosial. Tujuannya untuk memperbaiki regulasi diri melalui perubahan tingkah laku dan mempertahankan perubahan tingkah laku yang telah terjadi.

 

Referensi :

Alwisol. (2009). Psikologi Kepribadian Edisi Revisi. Malang : UMM Press.

Feist, J. & Feist, G.J. (2002). Theories of Personality 5th Edition. Boston : McGraw Hill, Inc.



-SEKIAN DAN TERIMA KASIH-

 

TEORI STIMULUS RESPON - DOLLARD & MILLER

 

TEORI STIMULUS RESPON NEAL E MILLER AND JOHN DOLLARD




PSIKOLOGI KEPRIBADIAN II

Rifdah Nur Aqilah (19310410061)

Dosen Pengampu : Fx. Wahyu Widiantoro, S.Psi., M.A.

 

Miller dan Dollard adalah seorang psikolog Amerika. Miller lahir di Wisconsin, Amerika pada 3 Agustus 1909 dan wafat di Connecticut, Amerika pada 23 Maret 2002. Sedangkan Dollard lahir di Wisconsin pada 19 Agustus 1900 dan wafat pada 8 Oktober 1980 di Connecticut, Amerika. Dollard dan Miller bekerja sama di Institute of Human Relations, Universitas Yale. Mereka mengembangkan pendekatan interdisiplin 3 bidang ilmu yaitu, teori belajar, psikoanalitik, dan antropologi sosial. Teori Dollard dan Miller dipengaruhi oleh teori Hull – Spence tentang peranan motivasi terhadap tingkah laku dan bagaimana motivasi belajar dapat diperoleh. Mereka banyak menjelaskan konsep-konsep psikoanalitik seperti kecemasan – konflik – represi, menggunakan prinsip psikologi belajar dan kondisi sosial dari belajar. Selain teori Hull, Dollard dan Miller juga banyak dipengaruhi oleh ahli behavior sebelumnya seperti Thorndike, Pavlov, dan Watson.

Menurut Dollard dan Miller, bentuk sederhana teori belajar adalah mempelajari keadaan di mana terjadi hubungan antara respon dengan cue-stimulusnya. Di dalamnya juga dibahas prinsip-prinsip asosiasi dan reinforcement (penguatan). Penelitian Dollard dan Miller yaitu tentang rasa takut terhadap tikus putih. Teknis penelitiannya menggunakan sebuah kotak yang dasarnya dialiri listrik di mana akan menimbulkan rasa sakit untuk tikus. Kotak itu diberi sekat yang dapat diloncati tikus, sisi yang satunya diberi warna putih dengan listrik dan sisi lainnya diberi warna hitam yang tidak ada listrik. Bel dibunyikan bersamaan dengan aliran listrik sampai tikusnya kesakitan dan akan dihentikan ketika tikus melompat ke kotak hitam. Ternyata, setelah terjadi proses belajar, warna kotak putih atau bunyi bel saja tanpa listrik telah membuat tikus meloncati sekat. Hal itu merupakan reaksi takut terhadap rasa sakit. Percobaan ditingkatkan dengan tuas pengungkit untuk membuka sekat. Ternyata, tikus berhenti menabrak sekat dan belajar menekan tuas untuk membuka sekat.

Jadi, dalam penelitian Dollard dan Miller tersebut, terjadi beberapa proses yaitu :

1.    Classical conditioning (tikus terkondisi merespon bel sebagai tanda akan ada aliran listrik).

2.    Instrumental learning (tikus belajar respon melompati sekat sebagai instrumental menghindari rasa sakit).

3.    Extinction (tingkah laku melompati tidak dilakukan lagi, diganti dengan menekan tuas).

4.    Primary drive (rasa sakit dan tertekan) memunculkan learned atau secondary drive (rasa takut) yang memotivasi tingkah laku organisme, bahkan ketika sumber rasa sakit sudah tidak ada.

Berdasarkan penelitian-penelitiannya, Dollard dan Miller menyimpulkan bahwa sebagian besar dorongan sekunder yang dipelajari manusia, dipelajari melalui belajar rasa takut dan anxiety. Dan terdapat 4 komponen utama belajar, yaitu menginginkan sesuatu (want), mengenali sesuatu (notice), melakukan sesuatu (do), dan mendapat sesuatu (get). Kemudian menjadi drive, cue, response, dan reinforcement.

1.    Drive adalah stimulus dari dalam diri organisme yang mendorong munculnya tingkah laku, tetapi tidak menentukan bentuk kegiatannya. Semakin kuat stimulus, maka semakin kuat drivenya sehingga semakin kuat juga tingkah laku yang dihasilkan. Ada 2 drive yaitu primer dan sekunder. Drive primer adalah dorongan yang dibangkitkan oleh respon terhadap stimulus yang sifatnya bawaan (misalnya sakit karena kejutan listrik). Sedangkan drive sekunder adalah dorongan yang dimunculkan terhadap stimulus yang awalnya netral (dimunculkan oleh bel). Rasa takut atau cemas adalah dorongan sekunder untuk menyembunyikan dorongan primer yaitu rasa sakit.

2.    Cue adalah stimulus yang memberi petunjuk perlunya dilakukan respon perilaku, petunjuk yang ada pada stimulus sepanjang pemahaman subjektif individu. Bel menjadi cue bagi tikus untuk melompati sekat. Pada penelitian lanjutan, tuas menjadi cue untuk membuka sekat lalu melompat ke kotak hitam.

3.    Response adalah aktivitas yang dilakukan. Suatu response harus dilakukan secara nyata sebelum dikaitkan dengan stimulus tertentu. Contohnya, untuk dapat belajar berperilaku asertif, seseorang harus benar-benar mencoba merespon secara asertif.

4.    Reinforcement adalah suatu pereda dorongan (drive reduction). Agar terjadi proses belajar, harus ada reinforcement atau hadiah.

Dollard dan Miller juga membahas terkait proses mental individu antara lain, generalisasi stimulus adalah suatu stimulus yang dapat membangkitkan munculnya suatu respon yang dipelajari. Contohnya, ketika tangan seorang anak terkena panas dari ketel yang mendidih, ia bisa menggeneralisasi suara desis, bentuk teko, letak teko, dan lainnya. Generalisasi memungkinkan individu untuk belajar banyak hal. Kemudian, reasoning (nalar) adalah adanya proses internal dalam suatu tindakan. Misalnya, seseorang sedang jalan-jalan dan melihat toko peralatan. Hal itu mengingatkan orang tersebut tentang sesuatu yang diinginkan. Kemudian ia berpikir bahwa uang yang ada di dompet cukup, maka ia pun masuk ke toko. Menurut Dollard dan Miller, bahasa (ucapan, pikiran, tulisan, dan sikap tubuh) merupakan hal yang berperan penting terhadap motivasi, reinforcement, dan reasoning. Bahasa mampu menguatkan tingkah laku secara verbal dengan menggambarkan konsekuensi di masa depan, dan bahasa membuat dinamika proses belajar manusia semakin kompleks.

Dollard dan Miller mengemukakan 3 model konflik dorongan, yaitu konflik approach – avoidance (orang dihadapkan pilihan positif dan negatif dalam situasi), konflik avoidance – avoidance (orang dihadapkan 2 pilihan negatif), dan konflik approach – approach (orang dihadapkan 2 pilihan positif). Selain itu, Dollard dan Miller juga memandang penting faktor ketidaksadaran. Menurutnya, ketidaksadaran itu berisi hal yang tidak pernah disadari, juga berisi hal yang pernah disadari tapi tidak bertahan karena adanya represi.

 

Referensi :

Alwisol. (2009). Psikologi Kepribadian Edisi Revisi. Malang : UMM Press.

Feist, J. & Feist, G.J. (2002). Theories of Personality 5th Edition. Boston : McGraw Hill, Inc.

 

 



-SEKIAN DAN TERIMA KASIH-

 

TEORI ANALISIS FAKTOR - HANS J. EYSENCK

 

TEORI ANALISIS FAKTOR – HANS J. EYSENCK




PSIKOLOGI KEPRIBADIAN II

Rifdah Nur Aqilah (19310410061)

Dosen Pengampu : Fx. Wahyu Widiantoro, S.Psi., M.A.


Hans Jurgen Eysenck adalah seorang psikolog berkebangsaan Jerman yang dilahirkan di Berlin pada 4 Maret 1916 dan wafat pada 4 September 1997 di London. Eysenck memakai pendekatan behaviorisme dalam melihat kepribadian manusia. Eyesenck berpendapat dasar umum sifat-sifat kepribadian berasal dari keturunan, dalam bentuk tipe dan trait. Namun, beliau juga berpendapat bahwa semua tingkah laku dipelajari dari lingkungan. Menurut Eysenck, kepribadian adalah keseluruhan pola tingkah laku aktual maupun potensial dari organisme, sebagaimana ditentukan oleh keturunan dan lingkungan. Pola tingkah laku itu berasal dan dikembangkan melalui interaksi fungsional dari 4 sektor utama yang mengorganisir tingkah laku, yaitu sektor kognitif (intelligence), sektor konatif (character), sektor afektif (temperament), dan sektor somatik (constitution).

Eysenck memandang kepribadian memiliki 4 tingkatan hirarki, berturut-turut dari hirarki yang tinggi ke hirarki yang rendah : tipe – traits – habit – respon spesifik. Tipe adalah kumpulan dari sifat-sifat yang saling berkaitan dalam dimensi yang luas. Traits adalah koleksi respon kebiasaan yang saling berkaitan atau mempunyai kesamaan tertentu. Habit adalah respon tingkah laku yang terus berlangsung di bawah kondisi yang sama. Dan respon spesifik adalah  tingkah laku yang dapat diamati dan menjadi ciri kepribadian. Eyesenck menemukan 3 dimensi tipe, yaitu ekstraversi – introversi, neurotisme, psikotisme, dan kecerdasan.

1.      EKTRAVERSI – INTROVERSI

Istilah ekstraversi dan introversi awalnya dipakai oleh Jung. Konsep ekstraversi – introversi Eyesenck hampir sama dengan konsepnya Jung di mana menurut Jung, ekstraversi adalah orang yang berpandangan objektif dan tidak pribadi, sedangkan introversi adalah orang yang berpandangan subjektif dan individualis. Menurut Eyesenck, perbedaan antara ekstraversi – introversi terletak pada tataran biologis dan genetiknya atau tingkat keterangsangan korteks yaitu CAL (Cortical Arousal Level). CAL adalah gambaran bagaimana korteks mereaksi stimulus indrawi.

Ekstraversi : ciri ekstraversi cenderung memiliki perasaan sosial, impulsivitas, rasa humor, gairah hidup, rasa optimisme, dan sifat-sifat yang mengindikasikan penghargaan terhadap hubungan dengan sesama. Ekstraversi memiliki CAL rendah (Under Arounsed) artinya tidak peka dan reaksinya lemah di mana butuh rangsangan indrawi yang banyak untuk mengaktifkan korteks. Contohnya, melakukan olahraga atau mendaki gunung.

Introversi : ciri introversi cenderung memiliki perasaan tidak sosial atau tidak berjiwa sosial, pasif, pendiam, ragu-ragu, rasa pesimis, penakut, banyak pikiran, kontrol diri, dan sebagainya. Introversi memiliki CAL tinggi (Over Aroused) artinya hanya butuh sedikit rangsangan untuk mengaktifkan korteks. Contohnya, menarik diri , menghindari keramaian, dan mendengarkan musik di kamar.

 

2.      NEUROTISISME

Eysenck melaporkan beberapa penelitian yang menemukan bukti dasar genetik dari trait neurotik, seperti gangguan kecemasan, histeria, dan obsesif-kompulsif. Juga ada keseragaman antara orang kembar-identik lebih dari kembar-fraternal dalam hal jumlah tingkah laku antisosial dan asosial seperti kejahatan orang dewasa, tingkah laku menyimpang pada anak-anak, homoseksualitas, dan alkoholisme. Neurotisisme adalah kecenderungan mengalami emosi negatif ditandai oleh high levels of negative affect (mudahnya terpengaruh perasaan negatif). Neurotisisme didasarkan pada reaktivitas sistem syaraf otonom (automatic nervous system reactivity). Individu dengan tingkat ANS tinggi cenderung mudah memberi respon secara emosional (emosi tidak stabil), contohnya marah ketika di kritik karena merasa tidak dihargai. Sedangkan  individu dengan tingkat ANS rendah cenderung memberi respon tidak emosional (emosi stabil), contohnya mampu menerima kritik dengan objektif.

 

3.      PSIKOTISISME

Individu yang skor psikotisismenya tinggi memiliki trait agresif, egosentris, dingin, penuh curiga, antisosial, tidak pribadi, impulsif, kreatif, keras hati, dan takempatik. Individu pada tingkat ini, lebih rentan mengidap stress dan berpotensi mengalami gangguan psikotik. Sedangkan individu yang skor psikotisismenya rendah memiliki trait merawat atau baik hati, hangat, penuh perhatian, akrab, tenang, sangat sosial, empatik, kooperatif, dan sabar. Seperti pada ekstraversi dan neurotisisme, psikotisisme mempunyai unsur genetik yang besar. Secara keseluruhan 3 dimensi kepribadian itu 75% bersifat herediter, dan hanya 25% yang menjadi fungsi lingkungan.

 

4.      KECERDASAN

Seperti 3 dimensi lainnya, kecerdasan lebih banyak dipengaruhi oleh keturunan. Namun, penelitian disekitar kecerdasan masih belum dapat mengolaborasi faktor kecerdasan itu dengan keseluruhan kepribadian manusia.

Konsep Eysenck menekankan bahwa kepribadian dibentuk oleh peran hereditas dan sebagian didasarkan pada bukti korelasional antara aspek-aspek biologis seperti CAL dan ANS dengan dimenasi kepribadian. Eysenck juga berpendapat, individu itu menjadi terkondisi perasaan takut atau cemasnya dengan stimulus yang baru saja dihadapi. Jadi, kecenderungan individu untuk merespon dengan tingkah laku neurotik semakin lama semakin luas. Eysenck menolak analisis psikodinamik yang memandang tingkah laku neurotik dikembangkan untuk tujuan mengurangi kecemasan. Justru, tingkah laku neurotik sering dikembangkan tanpa alasan yang jelas, sering menjadi kontraproduktif, dan semakin meningkatkan kecemasan. Jika tingkah laku diperoleh dari belajar, logikanya tingkah laku juga bisa dihilangkan dengan belajar. Eysenck memilih model terapi tingkah laku atau metode menangani tekanan psikologis yang dipusatkan pada pengubahan tingkah laku salah suai alih-alih mengembangkan pemahaman mendalam terhadap konflik jiwa.



Referensi :

Alwisol. (2009). Psikologi Kepribadian Edisi Revisi. Malang : UMM Press.

Feist, J., & Feist, G.J. (2002). Theories of Personality 5th Edition. Boston : McGraw Hill, Inc.

 


-SEKIAN DAN TERIMA KASIH-

 

Rifdah Nur Aqilah's Frame

Diberdayakan oleh Blogger.

Aqilah's Frame

All About Me

Happy Cute Box Bear

Pengikut