MENGUPAS ORIENTASI NILAI-NILAI BUDAYA

 MENGUPAS ORIENTASI NILAI-NILAI BUDAYA



Rifdah Nur Aqilah (19310410061)
Artikel ini dibuat untuk memenuhi Tugas Ilmu Budaya Dasar

Program Studi Psikologi

Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta

Dosen Pengampu : Amin Nurohmah, S.Pd., M.Sc.


Budaya berasal dari bahasa sansekerta yaitu budhhayah yang artinya budi dan akal manusia. Budaya ini sangat berkaitan erat dengan kehidupan manusia, karena mencakup adat istiadat, bahasa, dan segala hal yang digunakan untuk mengatur kehidupan bermasyarakat. Budaya merupakan suatu pola hidup yang menyeluruh dan kompleks. Dan setiap budaya memiliki nilai-nilai budaya yang berlaku di masyarakat setempat. Sistem nilai budaya merupakan tingkat yang paling abstrak dari adat-istiadat, di mana terdapat konsepsi-kosepsi yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar warga masyarakat mengenai hal-hal yang harus mereka anggap bernilai dalam hidup. Sistem nilai budaya ini menjadi pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia. Sistem tata kelakuan manusia lain yang tingkatnya lebih konkret, seperti aturan-aturan khusus, hukum dan norma, serta semua hal yang berpedoman pada sistem nilai budaya itu.

Ada banyak nilai kebudayaan di setiap budaya yang ada di dunia. Sehingga, nilai kebudayaan itu bisa berbeda-beda, tetapi pada dasarnya setiap nilai budaya itu memiliki orientasi nilai budaya yang hampir serupa satu sama lain. Terutama jika kita melihat masalah dasar dalam hidup manusia, maka orientasi nilai budaya akan terlihat hampir sama. Kluckhohn dalam Koentjaraningrat (2009) telah mengembangkan nilai budaya ke dalam 5 masalah yang paling mendasar dalam kehidupan manusia, diantaranya: a) Masalah hakikat hidup; b) Masalah hakikat dari karya manusia; c) Masalah hakikat dari kedudukan manusia dalam ruang waktu; d) Masalah hakikat manusia dari hubungan manusia dengan alam sekitarnya; e) Masalah hakikat dari hubungan manusia dengan sesamanya. Meskipun cara mengkonsepsikan 5 masalah pokok dalam kehidupan manusia itu universal dan setiap masyarakat atau kebudayaan itu berbeda-beda, namun di setiap lingkungan masyarakat dan kebudayaan 5 masalah pokok itu selalu ada.

Yang pertama tentang masalah hakikat hidup , di mana setiap kebudayaan memiliki perspektif yang berbeda dalam memandang hakikat hidup. Orientasi orang-orang di kebudayaan tradisional memandang bahwa hakikatnya hidup manusia itu buruk. Contohnya, orang yang frustasi karena mengalami kegagalan akan menganggap bahwa hidupnya sangat menyedihkan, menderita, dan memprihatinkan. Berbeda dengan orientasi orang-orang di kebudayaan transisi, di mana mereka memandang bahwa hidup itu baik. Contohnya, orang yang menganggap hidup itu anugerah dan nikmat dari Tuhan akan lebih sering bersyukur atas segala apa yang terjadi kepadanya. Kemudian, orientasi orang-orang di kebudayaan modern memandang bahwa hakikat hidup manusia itu buruk dan sulit tetapi harus diperjuangkan dan berusaha agar hidup bisa lebih baik. Contohnya, orang yang serba kekurangan akan menganggap hidupnya buruk, namun ia tetap berpikir optimis, berusaha dan berdoa kepada Tuhannya untuk hidup yang lebih baik lagi.

Yang kedua tentang masalah hakikat karya manusia. Orientasi orang-orang di kebudayaan tradisional memandang bahwa karya manusia itu hakikatnya untuk kelangsungan hidup. Contohnya, orang yang bekerja mencari nafkah atau harta hanya untuk bertahan hidup dan memenuhi kebutuhan hidup. Orientasi orang-orang di kebudayaan transisi memandang bahwa karya manusia itu hakikatnya untuk mendapatkan kedudukan dan kehormatan. Contohnya, orang yang bekerja demi sebuah pangkat, jabatan, pujian, dan penghargaan dari masyarakat sekitar. Bukan harta yang dicari dan dibutuhkan, tetapi status sosial yang dimiliki setiap individu. Kemudian, orientasi orang-orang di kebudayaan modern memandang bahwa karya manusia itu hakikatnya untuk menambah karya dan memperbanyak prestasi. Contohnya, orang yang membuat suatu karya bukan hanya untuk mendapatkan harta dan jabatan, namun untuk mengumpulkan koleksi karya sehingga dapat memuaskan dirinya sendiri, karena berpikir bahwa hidup harus menghasilkan banyak karya.

Yang ketiga tentang masalah hakikat dari kedudukan manusia dalam ruang waktu.Orientasi orang-orang di kebudayaan modern memandang bahwa kedudukan manusia dalam ruang waktu pada hakikatnya adalah masa lalu. Contohnya, orang-orang zaman dahulu biasanya berpedoman pada masa lalunya sebagai standar hidup di masa kini dan terkadang sulit untuk mengikuti perkembangan zaman. Kemudian, orientasi orang-orang di kebudayaan transisi memandang bahwa kedudukan manusia dalam ruang waktu pada hakikatnya adalah masa kini, artinya mereka tidak lagi memikirkan masa lalu dan tidak mementingkan masa depan. Contohnya, orang yang memiliki gaya hidup mewah atau suka berfoya-foya biasanya cenderung boros dan tidak ada manajemen keuangan, sehingga ia menghabiskan hartanya untuk bersenang-senang di masa kini tanpa memikirkan hidupnya di masa depan seperti menabung. Orientasi orang-orang di kebudayaan modern memandang bahwa kedudukan manusia dalam ruang waktu hakikatnya pada masa depan, artinya mereka akan membuat perencanaan hidup yang matang agar sukses di masa depan. Contohnya, orang yang sejak dini mulai membiasakan diri untuk menabung demi masa depan yang layak.

Yang keempat tentang masalah hakikat dari hubungan manusia dengan alam sekitarnya. Orientasi orang-orang d kebudayaan tradisional memandang bahwa pada hakikatnya hubungan manusia dengan alam sekitar itu tunduk pada alam yang dahsyat. Contohnya, orang yang menerima apa adanya hasil yang disediakan oleh alam, sehingga manusia dituntut untuk menyerah dan tidak banyak berusaha karena bergantung pada hasil alam. Berbeda dengan orientasi orang-orang di kebudayaan transisi yang memandang bahwa hubungan manusia dengan alam sekitar pada hakikatnya adalah selaras dengan alam. Contohnya, gerakan penanaman pohon untuk mencegah terjadinya banjir. Kemudian, orientasi orang-orang di kebudayaan modern memandang bahwa hubungan manusia dengan alam sekitar pada hakikatnya untuk menguasai alam. Contohnya, orang yang menganggap alam sebagai anugerah dari Tuhan untuk dikuasai manusia. Contoh lain, orang yang memburu hewan atau tanaman langka demi mendapatkan uang tanpa memikirkan kepunahan hewan atau tanaman tersebut.

Yang kelima tentang masalah hakikat dari hubungan manusia dengan sesamanya. Orientasi orang-orang di kebudayaan tradisional memandang bahwa hubungan manusia dengan sesama pada hakikatnya itu vertikal, di mana tingkah laku kesehariannya berpedoman pada tokoh-tokoh pemimpin, senior, dan berpangkat. Contohnya, orang yang ketergantungan dengan perintah pimpinannya sehingga kurang bersikap inisiatif dan inovatif. Orientasi orang-orang di kebudayaan transisi memandang bahwa hubungan manusia dengan sesama pada hakikatnya itu horizontal, di mana antar sesama manusia akan saling bergantung pada sesamanya. Contohnya, orang-orang yang berjiwa gotong royong, bersikap saling membantu. Orientasi orang-orang di kebudayaan modern memandang bahwa hubungan manusia dengan sesama pada hakikatnya itu individual, di mana mereka selalu berdiri sendiri tanpa membutuhkan bantuan orang lain untuk mencapai tujuan hidupnya. Contohnya, orang yang selalu menganggap bahwa semua yang ia lakukan adalah yang terbaik dan terhebat dari yang lainnya, sehingga biasanya muncul rasa sombong dan iri dengki.


 

Referensi Gambar:

KajianPustaka.com


Referensi Materi:

Koentjaraningrat. (2009). Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Renika Cipta.



KETERKAITAN PERKEMBANGAN TEKNOLOGI DAN INFORMASI TERHADAP PERUBAHAN PRANATA SOSIAL

KETERKAITAN PERKEMBANGAN TEKNOLOGI DAN INFORMASI TERHADAP PERUBAHAN PRANATA SOSIAL




Rifdah Nur Aqilah (19310410061)

Artikel ini dibuat untuk memenuhi Tugas Ilmu Budaya Dasar

Program Studi Psikologi

Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta

Dosen Pengampu : Amin Nurohmah, S.Pd., M.Sc.


Pada dasarnya, manusia hidup dalam sebuah tatanan masyarakat yang memiliki berbagai aturan atau nilai di mana segala perilaku dan tindakan manusia telah diatur menurut cara tertentu yang telah disepakati yang disebut pranata sosial. Menurut Koentjaraningrat (1990), pranata sosial adalah sistem tata kelakuan dan hubungan yang berpusat pada aktivitas-aktivitas untuk memenuhi kompleks-kompleks kebutuhan khusus dalam kehidupan masyarakat atau pola-pola resmi yang mengatur hubungan antar individu dalam masyarakat. Adanya pranata sosial dalam kehidupan masyarakat ini untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan manusia yang beraneka ragam dan selalu berubah-ubah. Maka dari itu, pranata sosial pun dapat mengalami perubahan sesuai dengan fungsinya. Perubahan pranata sosial bisa terjadi karena dianggap sudah tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup masyarakat secara keseluruhan. Ada 2 hal yang menjadi dasar perubahan sosial yaitu proses internalisasi dan kontrol sosial.

Perubahan pranata sosial juga bisa terjadi akibat makin berkembangnya teknologi dan informasi seperti telepon seluler, komputer dan internet. Saat ini teknologi dan informasi semakin mudah diakses oleh berbagai kalangan masyarakat dari kalangan muda maupun kalangan tua, di wilayah perkotaan maupun di wilayah pedesaan, sehingga teknologi dan informasi secara tidak langsung memicu tingkat perubahan dan pergeseran pola hidup dan interaksi, serta membentuk pranata baru yang menggantikan pranata tradisional yang telah ada. Menurut Hastuti dan Sudarwati (2007) dalam Putri dan Arya (2012), adanya internalisasi nilai-nilai budaya barat akibat mudahnya akses teknologi internet di pedesaan telah membawa dampak terhadap perubahan gaya hidup masyarakat di pedesaan, terutama di kalangan remaja desa. Gaya hidup remaja desa pada masa dahulu selalu identik dengan gaya hidup yang dipengaruhi oleh nilai-nilai agama dan budaya setempat.

Seperti yang kita ketahui bahwa teknologi dan informasi terus berkembang setiap harinya, sehingga dianggap sangat membantu dan mempermudah hampir seluruh aktivitas manusia. Namun, disisi lain, pesatnya perkembangan teknologi dan informasi ini sangat mempengaruhi perubahan pranata sosial. Contohnya, pranata sosial di bidang ekonomi yang bertujuan memenuhi kebutuhan manusia untuk pencarian hidup, memproduksi, menimbun, dan mendistribusikan harta benda. Pranata ekonomi ini tidak lepas dari kebutuhan pokok masyarakat di kehidupan sehari-hari tanpa menimbulkan kesenjangan atau konflik sosial. Seluruh masyarakat di berbagai wilayah pasti memiliki pranata-pranata ekonomi dengan sifat dan cara pelaksanaannya masing-masing.

Adapun faktor yang menentukan struktur ekonomi, diantaranya: a) Gathering adalah proses pengumpulan barang atau sumber daya alam dari lingkungannya; b) Production adalah proses mengubah sumber daya alam menjadi barang-barang atau komoditi tertentu sehingga dapat digunakan oleh subsistem lainnya; c) Distributing adalah proses pembagian barang dan komoditi pada subsitem-subsistem lainnya; d) Servicing adalah organisasi dari elemen-elemen ekonomi yang tidak tercakup dalam proses produksi tetapi diperlukan untuk menunjang proses ekonomi lainnya seperti bank (Dosen Pendidikan, 2021).

Sementara itu, ada elemen dasar proses ekonomi yang mempengaruhi struktur pranata ekonomi, yaitu (Dosen Pendidikan, 2021):

1.      Tanah merupakan indikator untuk menentukan besarnya produksi dan pendapatan yang akan diperoleh pemilik atau pengelola tanah.

2.      Tenaga kerja adalah elemen proses ekonomi yang mempunyai peranan dalam proses produksi. Menurut Kay (1981), tenaga kerja terdiri dari 2 unsur yaitu jumlah tenaga kerja dan kualitas tenaga kerja.

3.      Modal adalah barang atau uang yang bersama-sama elemen proses ekonomi lain terutama tanah dan tenaga kerja untuk menghasilkan barang-varang baru.

4.      Perangkat teknologi adalah pengetahuan tentang dunia dan lingkungan yang ada dalam kebudayaan suatu masyarakat. Dalam masyarakat modern, kedudukan teknologi makin lama makin dominan dan penting terutama dalam beberapa hal, teknologi sering menimbulkan alienasi (keterasingan) pada manusia.

5.      Kewiraswastaan adalah struktur dan proses dalam masyarakat yang meningkatkan organisasi dan integrasi elemen-elemen dasar dalam proses ekonomi.

Jadi, pranata sosial di bidang ekonomi dapat meningkat dengan adanya perkembangan teknologi informasi. Artinya, pranata sosial di bidang ekonomi yang paling terpengaruh oleh perkembangan teknologi dan informasi dibanding pranata sosial di bidang lainnya. Meskipun sebenarnya tidak menutup kemungkinan bahwa pranata-pranata sosial di bidang selain ekonomi juga terpengaruh oleh perkembangan teknologi dan informasi. Karena saat ini dunia telah memasuki era modern, di mana segala kebutuhan manusia bisa dengan mudah dipenuhi secara cepat dengan bantuan teknologi dan informasi.



REFERENSI GAMBAR:

Dribbble.com


REFERENSI MATERI:

DosenPendidikan.com. (2021, September 15). Pranata Ekonomi. Diakses pada 26 Oktober 2021, dari https://www.dosenpendidikan.co.id/pranata-ekonomi/

Ekasari, Putri., & Dharmawan, Arya Hadi. (2012). Dampak Sosial-Ekonomi Masuknya Pengaruh Internet Dalam Kehidupan Remaja Pedesaan. Jurnal Sosiologi Pedesaan Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, IPB, 1(6).

Koentjaraningrat. (1990). Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Djambatan.


SOCIAL LEARNING THEORY - WALTER MISCHEL AND MARTIN SELIGMAN

 

TEORI SOCIAL LEARNING – WALTER MISCHEL DAN MARTIN SELIGMAN

Walter Mischel
Martin Seligman

PSIKOLOGI KEPRIBADIAN II

Rifdah Nur Aqilah (19310410061)

Dosen Pengampu : Fx. Wahyu Widiantoro, S.Psi., M.A.

 

Walter Mischel dan Martin Seligman adalah seorang psikolog Amerika. Mischel lahir di Wina, Austria pada 22 Februari 1930 dan wafat di New York pada 12 September 2018. Sedangkan Seligman lahir di Albany, New York pada 12 Agustus 1942 (sekarang berusia 78 tahun).

A.                 TEORI WALTER MISCHEL

Walter Mischel pada awalnya menolak penjelasan teori sifat atas perilaku. Beliau justru mendukung gagasan bahwa aktivitas kognitif dan situasi spesifik mempunyai peranan yang penting dalam menentukan perilaku. Tetapi, Mischel telah mengajukan suatu rekonsiliasi antara pendekatan proses dinamis dengan pendekatan disposisi personal. Teori kepribadian kognitif – afektif ini berpandangan bahwa perilaku berasal dari disposisi personal yang relatif stabil dan proses kognitif – afektif yang berinteraksi dengan situasi tertentu (Feist & Feist, 2016).

Sistem kepribadian kognitif – afektif Mischel dilatar belakangi oleh beberapa faktor, diantaranya :

1.      Paradoks Konsistensi. Mischel berargumen bahwa perilaku tidak akan bisa memprediksikan sifat kepribadian dengan akurat. Jadi, perilaku itu bergantung pada situasi. Misalnya, ada kalanya siswa yang jujur justru menyontek saat ujian, padahal siswa itu tidak pernah mencuri atau suka berbohong.

2.      Interaksi Manusia – Situasi. Mischel melihat bahwa manusia bukanlah suatu wadah kosong tanpa ada sifat kepribadian yang bertahan di dalamnya. Sebagian besar orang memiliki konsistensi tertentu dalam perilaku mereka. Mischel terus menekankan bahwa situasi memiliki efek yang sangat penting pada perilaku. Pandangan ini mengindikasikan bahwa perilaku disebabkan oleh persepsi dirinya sendiri dalam situasi tertentu, serta keyakinan, nilai, tujuan, kognisi dan perasaan seseorang berinteraksi untuk membentuk perilaku.

3.      Sistem Kepribadian Kognitif – Afektif. Sistem kepribadian ini memprediksikan bahwa perilaku seseorang akan berubah dari satu situasi ke situasi lainnya. Sistem kepribadian kognitif – afektif terdiri dari 3 sistem, yaitu :

a.      Prediksi perilaku, Mischel berasumsi bahwa prediksi perilaku berada pada pengetahuan mengenai bagaimana dan kapan berbagai unit kognitif –afektif diaktivasi. Unit tersebut meliputi pengodean, ekspektasi, keyakinan, kompetensi, rancangan dan strategi regulasi diri, serta afek dan tujuan.

b.      Variabel situasi, orang-orang yang berbeda berperilaku dalam cara yang sama misalnya saat menonton adegan emosional dalam film yang menarik, orang akan membentuk perilakunya sesuai situasi. Di sisi lain, kejadian yang terlihat sama dapat menghasilkan reaksi yang sangat berbeda karena kualitas pribadi mengalahkan variabel situasional.

c.       Unit kognitif – afektif, meliputi semua aspek psikologis, sosial, dan fisiologis dari manusia yang menyebabkan interaksi dengan lingkungan mereka dengan pola variasi yang stabil. Mischel menawarkan rangkaian dari 5 variabel unit tersebut, yaitu strategi encoding – kompetensi dan strategi regulasi diri – ekspektasi dan keyakinan – tujuan dan nilai – respon afektif.

 

B.                  TEORI MARTIN SELIGMAN

Martin Seligman adalah seorang revolusioner dunia psikologi yang mengubah cara pandang dan cara berpikir para psikolog dunia. Seligman membuat semua psikolog harus berpikir ulang tentang pola pikir sang psikolog sendiri bukan pasiennya. Akhirnya, Seligman membuat buku psikologi yang mengubah negative psychology menjadi positive psychology. Sehingga Seligman terkenal dengan nama father of positive psychology, yaitu seorang psikolog pakar studi optimisme yang mempelopori revolusi dalam psikologi melalui gerakan psikologi positif. Selain itu, pada tahun 1988 Seligman juga seorang Presiden APA (American Psychological Association). Menurut Seligman (dalam Sunedi, 2018), ada 3 cara untuk bahagia, yaitu:

1.      Have a pleasant life (life of enjoyment). Milikilah hidup yang menyenangkan, dapatkan kenikmatan sebanyak mungkin. Cara ini mungkin ditempuh oleh kaum hedonis. Tapi, jika ini cara yang kita tempuh, hati-hati dengan jebakan hedonic treadmill (semakin kita mencari kenikmatan, semakin kita sulit dipuaskan) dan jebakan habituation (kebosanan karena terlalu banyak, misalnya makan es krim pada jilatan pertama sangat nikmat, tapi pada jilatan keduapuluh, kita jadi ingin muntah). Namun, pada takaran yang pas, cara ini sangat membahagiakan.

2.      Have a good life (life of engagement). Dalam bahasa Aristoteles disebut eudaimonia, yakni terlibatlah dalam pekerjaan, hubungan atau kegiatan yang membuat kita mengalami “flow”. Kita akan merasa terserap dalam kegiatan itu, seakan-akan waktu berhenti bergerak, kita bahkan tidak merasakan apapun karena sangat “khusyu”.

3.      Have a meaningful life (life of contribution). Milikilah semangat melayani, berkontribusi dan bermanfaat untuk orang lain atau makhluk lain. Menjadi bagian dari organisasi atau kelompok, tradisi atau gerakan tertentu. Merasa hidup kita memiliki makna yang lebih tinggi dan lebih abadi dibanding diri kita sendiri.

Dengan demikian, tujuan utama psikologi positif tidak hanya untuk memperbaiki. Namun juga membangun kembali kualitas dengan positif kemudian dirasa penting dan sangat aplikatif untuk digunakan di segala konteks profesional psikologi. Psikologi positif tidak menyangkal nilai-nilai dari penelitian yang sudah ada tentang psikopatologi. Begitupun dalam psikoterapi, penerapan prinsip-prinsip psikologi positif justru membantu para psikoterapis untuk mengarahkan para pasien dalam mengatasi gangguan-gangguan psikologis yang mereka alami (Seligman, 2001). Penerapan prinsip psikologi positif seperti optimisme, penemuan tujuan hidup, kejujuran, rasionalitas, keberanian, dan sifat pantang menyerah dalam psikoterapi ternyata mampu membantu pasien untuk mengatasi gangguan psikologis seperti depresi dan kecemasan yang mereka alami, dan juga membantu pasien untuk menumbuhkan harapan dalam melanjutkan kehidupan yang mereka jalani.

 

C.                  KESIMPULAN

Mischel mengusulkan agar kita berperilaku konsisten dengan cara yang sama dalam situasi yang berbeda, situasi ini mengarah pada konsekuensi yang sama dan memiliki arti sama untuk diri kita. Ketika perbedaan itu berbeda, maka kita belajar untuk membedakan antara berbagai situasi dan berperilaku yang sesuai. Mischel dalam buku pertamanya yang berjudul "The Marshmallow" tahun 2014, menciptakan faktor yang dapat mendinginkan dorongan kuat atau faktor impulsif. Mischel percaya bahwa kemampuan untuk menunda kebahagiaan sama dengan kemampuan untuk membuat pilihan yang baik di tengah godaan. Dengan begitu, kita dapat meraih kebebasan dan kebahagiaan dalam arti yang sesungguhnya, yaitu bebas dari faktor impulsif dalam pengambilan keputusan yang baik. Maksudnya, seseorang yang mengubah perilaku ke arah yang lebih positif akan mudah merealisasikan tujuan hidupnya. Hal ini sesuai dengan konsep kebahagiaan autentik Martin Seligman. Kebahagiaan autentik adalah kebahagiaan yang bisa diupayakan, tentunya bagi mereka yang mau berusaha untuk berbahagia yang sebenarnya.



Referensi :

Feist, J., & Feist, G.J. (2016). Teori Kepribadian. Jakarta : Salemba Humanika.

Sarmadi, Sunedi. (2018). Psikologi Positif. Yogyakarta : Titah Surga.

Seligman, Martin. (2001). Positive Psychology, Positive Prevention, and Positive Therapy. In C.R. Snyder & S.J. Lopez (Eds.), Handbook of Positive Psychology. New York : Oxford University Press.

 

- SEKIAN DAN TERIMA KASIH -

SOCIAL LEARNING THEORY - ALBERT BANDURA

 

SOCIAL LEARNING THEORY – ALBERT BANDURA




PSIKOLOGI KEPRIBADIAN II

Rifdah Nur Aqilah (19310410061)

Dosen Pengampu : Fx. Wahyu Widiantoro, S.Psi., M.A

 

Albert Bandura adalah seorang psikolog berkebangsaan Canada, Amerika Serikat yang lahir di Mandure, Canada pada 4 Desember 1925. Bandura memperoleh gelar sarjana psikologinya di Universitas of British Columbia di Vancouver tahun 1949. Kemudian, Bandura melanjutkan studinya di Universitas Lowa dan memperoleh gelar Ph.D tahun 1952. Saat ini, Bandura masih mengajar di Universitas Stanford (1953 – sekarang) dan Bandura pernah menjabat sebagai presiden APA pada tahun 1973. Teori Bandura dikenal dengan Social Learning Theory (teori belajar sosial). Teori Bandura ini berasumsi bahwa manusia bisa belajar berbagai sikap, perilaku, dan keterampilan melalui vicarious experiences (pengalaman langsung). Selain itu, Bandura juga berpendapat bahwa manusia lebih banyak belajar dari mengamati orang lain (observational learning).

Salah satu eksperimennya yang cukup dikenal adalah Bobo Doll Studies. Eksperimen Bandura ini bertujuan mengamati perilaku imitasi atau meniru pada anak-anak usia pra-sekolah terhadap perilaku agresif. Bobo doll adalah nama sebuah boneka yang apabila dipukul akan berdiri lagi karena pada titik gravitasinya diberi cairan. Dalam eksperimennya, Bandura membagi anak-anak ke dalam 2 kelompok. Kelompok A diperlihatkan seorang dewasa memukul, menendang, dan menjerit ke arah boneka bobo. Sedangkan kelompok B  diperlihatkan seorang dewasa yang berperilaku lemah lembut dan sayang pada boneka bobo. Setelah anak-anak tersebut menyaksikan perilaku orang dewasa dan ditinggalkan sendirian hanya bersama boneka bobo, kelompok A menunjukkan perilaku lebih agresif dari orang dewasa tadi, sedangkan kelompok B tidak menunjukkan perilaku agresif.




Dari eksperimen tersebut, Bandura menyimpulkan bahwa perilaku itu dipelajari berdasarkan proses mengamati dan imitasi atau modelling perilaku orang lain. Bandura percaya, pengamatan (observasi) terhadap perilaku orang lain membantu manusia belajar tanpa harus melakukan sesuatu secara langsung, dan kunci utama observational learning adalah modelling. Modelling bukan sekadar mengamati model atau mengulang perilaku yang diamati, namun juga melibatkan proses kognitif tentang penambahan maupun pengurangan perilaku yang diamati. Kemudian, ada 4 hal yang diperlukan dalam proses observational learning, yaitu attention (perhatian pada model), representation (tingkah laku yang ditiru dan diingat), behavioral production (hasil tingkah laku setelah memperhatikan dan mengingat), dan motivation (sesuatu yang menentukan tingkah laku).

Faktor yang mempengaruhi proses modelling diantaranya, karakteristik model (semakin mirip model, individu semakin mudah terpengaruh), karakteristik observer (orang yang memiliki konsep diri rendah cenderung mungkin meniru perilaku orang lain), dan konsekuensi dari tingkah laku yang ditiru (reward dan punishment). Bandura membahas tentang triadic reciprocal causation model yang merupakan bagian dari struktur kepribadian manusia, di mana perilaku manusia adalah hasil dari 3 variabel (person – environment - behavior). Istilah reciprocal (timbal balik) dipakai untuk menunjukkan interaksi yang triadic, bukan hanya satu arah. Behavior meliputi perilaku individu. Environment meliputi lingkungan luar yang berpengaruh. Dan person meliputi gender, status sosial, kondisi fisik, kognitif, dan lainnya. Tiga variabel tersebut tidak berperan seimbang, namun tergantung pada situasi yang terjadi. Meskipun tingkah laku dan lingkungan pada suatu situasi bisa saja menjadi kontributor terbesar pada performa seseorang, namun biasanya kognisi adalah kontributor terkuat individu melakukan suatu tindakan tertentu.

Selain itu, ada 2 hal yang berperan dalam transformasi perilaku seseorang yaitu chance encounters (pertemuan tak terduga dengan seseorang yang tak familiar atau tidak saling kenal), dan fortuitous events (kejadian yang tidak terduga). Menurut Bandura, manusia memiliki kapasitas untuk berlatih mengontrol kehidupannya, manusia memiliki regulasi diri bersifat proaktif, dapat merefleksikan diri, dapat mengorganisir diri, dan memiiki kekuatan untuk memengaruhi tindakannya sendiri agar mendapat konsekuensi yang diinginkan. Bandura juga membicarakan self-regulation (regulasi diri) di mana manusia memiliki kemampuan berpikir dan dengan kemampuan itu manusia memanipulasi lingkungan sehingga terjadi perubahan. Ada 2 faktor yang memengaruhi proses regulasi diri, yaitu faktor eksternal dan faktor internal.

Faktor eksternal meliputi standar untuk mengevaluasi tingkah laku, didapat dari lingkungan yang berinteraksi dengan pribadi, contohnya standar hal-hal yang dianggap baik oleh orang tua atau guru untuk menilai prestasi diri. Adapula reinforcement yaitu suatu insentif yang berasal dari lingkungan eksternal seperti pujian dan hadiah. Sedangkah faktor internal terdiri dari self-observation (apa yang diobservasi tergantung minat dan konsep diri seseorang), judgemental process (melihat kesesuaian tingkah laku dengan standar pribadi atau proses memberi penilaian), self-response (pengamatan dan penilaian seseorang akan menilai diri positif atau negatif lalu menghadiahi atau menghukum diri), dan self-effication (keyakinan terhadap kemampuan diri dalam melakukan tindakan tertentu). Efikasi diri seseorang berbeda-beda, tergantung situasi. Bisa saja efikasi dirinya tinggi di suatu situasi, namun rendah di situasi lain.

 Efikasi diri didapatkan, dipertahankan, dan ditingkatkan melalui kombinasi dari beberapa faktor, yaitu mastery experiences (pengalaman di masa lalu), social modelling (pengalaman yang tak terduga atau vicarious experiences), social persuasion (penilaian sosial yang memengaruhi diri), dan physical and emotional state (kondisi fisik dan emosi memengaruhi tinggi rendahnya efikasi diri). Kombinasi efikasi diri dengan lingkungan dapat memprediksi tingkah laku seseorang. Efikasi diri yang tinggi dan lingkungan yang responsif akan membuat seseorang menjadi sukses dan melakukan tugas sesuai kemampuannya. Sebaliknya, jika efikasi dirinya rendah dan lingkungan responsif, maka seseorang akan merasa depresi karena melihat orang lain sukses pada tugas yang dianggap sulit. Dengan efikasi diri yang tinggi dan lingkungan tidak responsif, seseorang akan berusaha keras mengubah lingkungan, melakukan protes, aktivitas sosial, bahkan melakukan perubahan. Begitupun, jika efikasi dirinya rendah dan lingkungan tidak responsif, maka seseorang akan menjadi apatis, mudah menyerah, dan tidak berdaya.

Yang terakhir, Bandura menyorot beberapa perilaku patologis yang dipelajari dan dipengarui oleh faktor kognitif, neurofisiologis, pengalaman yang mendapat penguatan, dan nilai fasilitatif dari lingkungan, diantaranya depresi karena regulasi diri salah dan standar pribadi terlalu tinggi di atas kemampuan individu, fobia karena efikasi diri rendah, dan agresi karena pengamatan terhadap model yang agresi dan pengalaman langsung dengan reinforcement negatif atau positif serta latihan atau perintah. Oleh karena itu, psikoterapi Bandura menggunakan terapi kognitif sosial. Tujuannya untuk memperbaiki regulasi diri melalui perubahan tingkah laku dan mempertahankan perubahan tingkah laku yang telah terjadi.

 

Referensi :

Alwisol. (2009). Psikologi Kepribadian Edisi Revisi. Malang : UMM Press.

Feist, J. & Feist, G.J. (2002). Theories of Personality 5th Edition. Boston : McGraw Hill, Inc.



-SEKIAN DAN TERIMA KASIH-

 

TEORI STIMULUS RESPON - DOLLARD & MILLER

 

TEORI STIMULUS RESPON NEAL E MILLER AND JOHN DOLLARD




PSIKOLOGI KEPRIBADIAN II

Rifdah Nur Aqilah (19310410061)

Dosen Pengampu : Fx. Wahyu Widiantoro, S.Psi., M.A.

 

Miller dan Dollard adalah seorang psikolog Amerika. Miller lahir di Wisconsin, Amerika pada 3 Agustus 1909 dan wafat di Connecticut, Amerika pada 23 Maret 2002. Sedangkan Dollard lahir di Wisconsin pada 19 Agustus 1900 dan wafat pada 8 Oktober 1980 di Connecticut, Amerika. Dollard dan Miller bekerja sama di Institute of Human Relations, Universitas Yale. Mereka mengembangkan pendekatan interdisiplin 3 bidang ilmu yaitu, teori belajar, psikoanalitik, dan antropologi sosial. Teori Dollard dan Miller dipengaruhi oleh teori Hull – Spence tentang peranan motivasi terhadap tingkah laku dan bagaimana motivasi belajar dapat diperoleh. Mereka banyak menjelaskan konsep-konsep psikoanalitik seperti kecemasan – konflik – represi, menggunakan prinsip psikologi belajar dan kondisi sosial dari belajar. Selain teori Hull, Dollard dan Miller juga banyak dipengaruhi oleh ahli behavior sebelumnya seperti Thorndike, Pavlov, dan Watson.

Menurut Dollard dan Miller, bentuk sederhana teori belajar adalah mempelajari keadaan di mana terjadi hubungan antara respon dengan cue-stimulusnya. Di dalamnya juga dibahas prinsip-prinsip asosiasi dan reinforcement (penguatan). Penelitian Dollard dan Miller yaitu tentang rasa takut terhadap tikus putih. Teknis penelitiannya menggunakan sebuah kotak yang dasarnya dialiri listrik di mana akan menimbulkan rasa sakit untuk tikus. Kotak itu diberi sekat yang dapat diloncati tikus, sisi yang satunya diberi warna putih dengan listrik dan sisi lainnya diberi warna hitam yang tidak ada listrik. Bel dibunyikan bersamaan dengan aliran listrik sampai tikusnya kesakitan dan akan dihentikan ketika tikus melompat ke kotak hitam. Ternyata, setelah terjadi proses belajar, warna kotak putih atau bunyi bel saja tanpa listrik telah membuat tikus meloncati sekat. Hal itu merupakan reaksi takut terhadap rasa sakit. Percobaan ditingkatkan dengan tuas pengungkit untuk membuka sekat. Ternyata, tikus berhenti menabrak sekat dan belajar menekan tuas untuk membuka sekat.

Jadi, dalam penelitian Dollard dan Miller tersebut, terjadi beberapa proses yaitu :

1.    Classical conditioning (tikus terkondisi merespon bel sebagai tanda akan ada aliran listrik).

2.    Instrumental learning (tikus belajar respon melompati sekat sebagai instrumental menghindari rasa sakit).

3.    Extinction (tingkah laku melompati tidak dilakukan lagi, diganti dengan menekan tuas).

4.    Primary drive (rasa sakit dan tertekan) memunculkan learned atau secondary drive (rasa takut) yang memotivasi tingkah laku organisme, bahkan ketika sumber rasa sakit sudah tidak ada.

Berdasarkan penelitian-penelitiannya, Dollard dan Miller menyimpulkan bahwa sebagian besar dorongan sekunder yang dipelajari manusia, dipelajari melalui belajar rasa takut dan anxiety. Dan terdapat 4 komponen utama belajar, yaitu menginginkan sesuatu (want), mengenali sesuatu (notice), melakukan sesuatu (do), dan mendapat sesuatu (get). Kemudian menjadi drive, cue, response, dan reinforcement.

1.    Drive adalah stimulus dari dalam diri organisme yang mendorong munculnya tingkah laku, tetapi tidak menentukan bentuk kegiatannya. Semakin kuat stimulus, maka semakin kuat drivenya sehingga semakin kuat juga tingkah laku yang dihasilkan. Ada 2 drive yaitu primer dan sekunder. Drive primer adalah dorongan yang dibangkitkan oleh respon terhadap stimulus yang sifatnya bawaan (misalnya sakit karena kejutan listrik). Sedangkan drive sekunder adalah dorongan yang dimunculkan terhadap stimulus yang awalnya netral (dimunculkan oleh bel). Rasa takut atau cemas adalah dorongan sekunder untuk menyembunyikan dorongan primer yaitu rasa sakit.

2.    Cue adalah stimulus yang memberi petunjuk perlunya dilakukan respon perilaku, petunjuk yang ada pada stimulus sepanjang pemahaman subjektif individu. Bel menjadi cue bagi tikus untuk melompati sekat. Pada penelitian lanjutan, tuas menjadi cue untuk membuka sekat lalu melompat ke kotak hitam.

3.    Response adalah aktivitas yang dilakukan. Suatu response harus dilakukan secara nyata sebelum dikaitkan dengan stimulus tertentu. Contohnya, untuk dapat belajar berperilaku asertif, seseorang harus benar-benar mencoba merespon secara asertif.

4.    Reinforcement adalah suatu pereda dorongan (drive reduction). Agar terjadi proses belajar, harus ada reinforcement atau hadiah.

Dollard dan Miller juga membahas terkait proses mental individu antara lain, generalisasi stimulus adalah suatu stimulus yang dapat membangkitkan munculnya suatu respon yang dipelajari. Contohnya, ketika tangan seorang anak terkena panas dari ketel yang mendidih, ia bisa menggeneralisasi suara desis, bentuk teko, letak teko, dan lainnya. Generalisasi memungkinkan individu untuk belajar banyak hal. Kemudian, reasoning (nalar) adalah adanya proses internal dalam suatu tindakan. Misalnya, seseorang sedang jalan-jalan dan melihat toko peralatan. Hal itu mengingatkan orang tersebut tentang sesuatu yang diinginkan. Kemudian ia berpikir bahwa uang yang ada di dompet cukup, maka ia pun masuk ke toko. Menurut Dollard dan Miller, bahasa (ucapan, pikiran, tulisan, dan sikap tubuh) merupakan hal yang berperan penting terhadap motivasi, reinforcement, dan reasoning. Bahasa mampu menguatkan tingkah laku secara verbal dengan menggambarkan konsekuensi di masa depan, dan bahasa membuat dinamika proses belajar manusia semakin kompleks.

Dollard dan Miller mengemukakan 3 model konflik dorongan, yaitu konflik approach – avoidance (orang dihadapkan pilihan positif dan negatif dalam situasi), konflik avoidance – avoidance (orang dihadapkan 2 pilihan negatif), dan konflik approach – approach (orang dihadapkan 2 pilihan positif). Selain itu, Dollard dan Miller juga memandang penting faktor ketidaksadaran. Menurutnya, ketidaksadaran itu berisi hal yang tidak pernah disadari, juga berisi hal yang pernah disadari tapi tidak bertahan karena adanya represi.

 

Referensi :

Alwisol. (2009). Psikologi Kepribadian Edisi Revisi. Malang : UMM Press.

Feist, J. & Feist, G.J. (2002). Theories of Personality 5th Edition. Boston : McGraw Hill, Inc.

 

 



-SEKIAN DAN TERIMA KASIH-

 

TEORI ANALISIS FAKTOR - HANS J. EYSENCK

 

TEORI ANALISIS FAKTOR – HANS J. EYSENCK




PSIKOLOGI KEPRIBADIAN II

Rifdah Nur Aqilah (19310410061)

Dosen Pengampu : Fx. Wahyu Widiantoro, S.Psi., M.A.


Hans Jurgen Eysenck adalah seorang psikolog berkebangsaan Jerman yang dilahirkan di Berlin pada 4 Maret 1916 dan wafat pada 4 September 1997 di London. Eysenck memakai pendekatan behaviorisme dalam melihat kepribadian manusia. Eyesenck berpendapat dasar umum sifat-sifat kepribadian berasal dari keturunan, dalam bentuk tipe dan trait. Namun, beliau juga berpendapat bahwa semua tingkah laku dipelajari dari lingkungan. Menurut Eysenck, kepribadian adalah keseluruhan pola tingkah laku aktual maupun potensial dari organisme, sebagaimana ditentukan oleh keturunan dan lingkungan. Pola tingkah laku itu berasal dan dikembangkan melalui interaksi fungsional dari 4 sektor utama yang mengorganisir tingkah laku, yaitu sektor kognitif (intelligence), sektor konatif (character), sektor afektif (temperament), dan sektor somatik (constitution).

Eysenck memandang kepribadian memiliki 4 tingkatan hirarki, berturut-turut dari hirarki yang tinggi ke hirarki yang rendah : tipe – traits – habit – respon spesifik. Tipe adalah kumpulan dari sifat-sifat yang saling berkaitan dalam dimensi yang luas. Traits adalah koleksi respon kebiasaan yang saling berkaitan atau mempunyai kesamaan tertentu. Habit adalah respon tingkah laku yang terus berlangsung di bawah kondisi yang sama. Dan respon spesifik adalah  tingkah laku yang dapat diamati dan menjadi ciri kepribadian. Eyesenck menemukan 3 dimensi tipe, yaitu ekstraversi – introversi, neurotisme, psikotisme, dan kecerdasan.

1.      EKTRAVERSI – INTROVERSI

Istilah ekstraversi dan introversi awalnya dipakai oleh Jung. Konsep ekstraversi – introversi Eyesenck hampir sama dengan konsepnya Jung di mana menurut Jung, ekstraversi adalah orang yang berpandangan objektif dan tidak pribadi, sedangkan introversi adalah orang yang berpandangan subjektif dan individualis. Menurut Eyesenck, perbedaan antara ekstraversi – introversi terletak pada tataran biologis dan genetiknya atau tingkat keterangsangan korteks yaitu CAL (Cortical Arousal Level). CAL adalah gambaran bagaimana korteks mereaksi stimulus indrawi.

Ekstraversi : ciri ekstraversi cenderung memiliki perasaan sosial, impulsivitas, rasa humor, gairah hidup, rasa optimisme, dan sifat-sifat yang mengindikasikan penghargaan terhadap hubungan dengan sesama. Ekstraversi memiliki CAL rendah (Under Arounsed) artinya tidak peka dan reaksinya lemah di mana butuh rangsangan indrawi yang banyak untuk mengaktifkan korteks. Contohnya, melakukan olahraga atau mendaki gunung.

Introversi : ciri introversi cenderung memiliki perasaan tidak sosial atau tidak berjiwa sosial, pasif, pendiam, ragu-ragu, rasa pesimis, penakut, banyak pikiran, kontrol diri, dan sebagainya. Introversi memiliki CAL tinggi (Over Aroused) artinya hanya butuh sedikit rangsangan untuk mengaktifkan korteks. Contohnya, menarik diri , menghindari keramaian, dan mendengarkan musik di kamar.

 

2.      NEUROTISISME

Eysenck melaporkan beberapa penelitian yang menemukan bukti dasar genetik dari trait neurotik, seperti gangguan kecemasan, histeria, dan obsesif-kompulsif. Juga ada keseragaman antara orang kembar-identik lebih dari kembar-fraternal dalam hal jumlah tingkah laku antisosial dan asosial seperti kejahatan orang dewasa, tingkah laku menyimpang pada anak-anak, homoseksualitas, dan alkoholisme. Neurotisisme adalah kecenderungan mengalami emosi negatif ditandai oleh high levels of negative affect (mudahnya terpengaruh perasaan negatif). Neurotisisme didasarkan pada reaktivitas sistem syaraf otonom (automatic nervous system reactivity). Individu dengan tingkat ANS tinggi cenderung mudah memberi respon secara emosional (emosi tidak stabil), contohnya marah ketika di kritik karena merasa tidak dihargai. Sedangkan  individu dengan tingkat ANS rendah cenderung memberi respon tidak emosional (emosi stabil), contohnya mampu menerima kritik dengan objektif.

 

3.      PSIKOTISISME

Individu yang skor psikotisismenya tinggi memiliki trait agresif, egosentris, dingin, penuh curiga, antisosial, tidak pribadi, impulsif, kreatif, keras hati, dan takempatik. Individu pada tingkat ini, lebih rentan mengidap stress dan berpotensi mengalami gangguan psikotik. Sedangkan individu yang skor psikotisismenya rendah memiliki trait merawat atau baik hati, hangat, penuh perhatian, akrab, tenang, sangat sosial, empatik, kooperatif, dan sabar. Seperti pada ekstraversi dan neurotisisme, psikotisisme mempunyai unsur genetik yang besar. Secara keseluruhan 3 dimensi kepribadian itu 75% bersifat herediter, dan hanya 25% yang menjadi fungsi lingkungan.

 

4.      KECERDASAN

Seperti 3 dimensi lainnya, kecerdasan lebih banyak dipengaruhi oleh keturunan. Namun, penelitian disekitar kecerdasan masih belum dapat mengolaborasi faktor kecerdasan itu dengan keseluruhan kepribadian manusia.

Konsep Eysenck menekankan bahwa kepribadian dibentuk oleh peran hereditas dan sebagian didasarkan pada bukti korelasional antara aspek-aspek biologis seperti CAL dan ANS dengan dimenasi kepribadian. Eysenck juga berpendapat, individu itu menjadi terkondisi perasaan takut atau cemasnya dengan stimulus yang baru saja dihadapi. Jadi, kecenderungan individu untuk merespon dengan tingkah laku neurotik semakin lama semakin luas. Eysenck menolak analisis psikodinamik yang memandang tingkah laku neurotik dikembangkan untuk tujuan mengurangi kecemasan. Justru, tingkah laku neurotik sering dikembangkan tanpa alasan yang jelas, sering menjadi kontraproduktif, dan semakin meningkatkan kecemasan. Jika tingkah laku diperoleh dari belajar, logikanya tingkah laku juga bisa dihilangkan dengan belajar. Eysenck memilih model terapi tingkah laku atau metode menangani tekanan psikologis yang dipusatkan pada pengubahan tingkah laku salah suai alih-alih mengembangkan pemahaman mendalam terhadap konflik jiwa.



Referensi :

Alwisol. (2009). Psikologi Kepribadian Edisi Revisi. Malang : UMM Press.

Feist, J., & Feist, G.J. (2002). Theories of Personality 5th Edition. Boston : McGraw Hill, Inc.

 


-SEKIAN DAN TERIMA KASIH-

 

TEORI FAKTORIAL ANALITIK

 RAYMOND BERNARD CATTELL




PSIKOLOGI KEPRIBADIAN II

Rifdah Nur Aqilah (19310410061)

Dosen : Fx. Wahyu Widiantoro, S.Psi., M.A.


Raymond Bernard Cattell dilahirkan pada 20 Maret 1905 dan wafat pada 2 Februari 1998. Cattell adalah salah satu psikolog berpengaruh di abad 20. Raymond Cattell (dan Hans J. Eysenck) mempunyai dua persamaan keyakinan dasar, yaitu bahwa kepribadian memiliki banyak sekali dimensi yang dapat diukur dan teknik statistik faktor analisis dapat menjadi sarana untuk mengisolasi variabel-variabel kepribadian itu. Menurut Cattell, kepribadian adalah sesuatu yang memungkinkan prediksi tentang tingkah laku seseorang dalam situasi tertentu, mencakup seluruh tingkah laku baik yang konkrit teramati maupun yang abstrak simpulan.

Kepribadian merupakan struktur yang kompleks dari traits yang tersusun dalam berbagai kategori. Traits adalah hipotesis atau simpulan struktur mental yang mendasari keajekan tingkah laku amatan, di mana berbagai sifat itu menjadi aspek yang menentukan struktur dan dinamika kepribadian. Cattell menganggap traits itu sebagai konstruk hipotetik atau imajiner yang disimpulkan dari pengamatan obyektif terhadap tingkah laku. Ada berbagai cara mengklasifikasikan traits, diantaranya :

a.      Common – Unique Traits. Common traits adalah traits yang dimiliki oleh semua orang dalam tingkatan tertentu. Misalnya, intelegensi, introversi, dan suka berteman. Sifat universal dari common traits ada karena manusia memiliki latar belakang hereditas yang kurang lebih sama dan mereka menghadapi pola tekanan sosial yang sama pula. Sedangkan unique traits adalah traits yang dimiliki satu orang saja (bisa juga dimiliki oleh beberapa orang). Sifat unique ini terutama berhubungan dengan interest dan attitude.

b.      Surface – Source Traits. Surface traits adalah sifat yang tampak yang menjadi tema umum dari beberapa tingkah laku. Misalnya, remaja yang lincah, menyenangkan orang lain, dan merencanakan kegiatan yang menarik. Sebaliknya, remaja yang senang mengkritik orang lain, memandang masa depan selalu suram dan tampak lelah, dikatakan memiliki sifat depresif. Sedangkan source traits adalah elemen-elemen dasar yang menjelaskan tingkah laku. Source traits ini bisa bersifat dibawa sejak lahir (konstitusional) atau bersifat diperoleh dari pengalaman berkomunikasi dengan lingkungan (environmental-mold). Jumlah source traits jauh lebih kecil dibanding surface traits sehingga lebih ekonomis dalam mendeskripsikan tingkah laku.

Cattell menemukan 16 source traits yang dikembangkan menjadi instrumen 16 Personality Factor Questionnair (16 PF).




c.       Ability Traits – Temprament Traits – Dynamic Traits. Ability traits menentukan seberapa efektif seseorang dalam usaha mencapai tujuan (contohnya kecerdasan). Temprament traits adalah gaya dan irama umum tingkah laku (contohnya ketenangan atau kegugupan, keberanian, santai, mudah tersinggung, dan lain-lain). Sedangkan dynamic traits berkaitan dengan motivasi tingkah laku (contohnya, dorongan, ketertarikan, dan ambisi menguasai ilmu atau benda). Ada 3 jenis dynamic traits yaitu Attitude – Sentiment – Erg.

Identifikasi dan klasifikasi elemen kepribadian menghasilkan informasi mengenai berbagai traits yang bersama-sama akan dapat dipakai meramalkan tingkah laku atau respon seseorang dalam situasi tertentu. Persamaan hanya memasukkan trait-trait akan menghasilkan ramalan tingkah laku yang relatif stabil, untuk menggambarkan keadaan yang obyektif mengenai tingkah laku yang terus berubah. Cattell memasukkan state, role, dn set, bagian dan struktur kepribadian yang relatif tidak stabil. State adlaah keadaan perasaaan. Role adalah peran yang dimainkan dalam lingkungan. Dan set adalah kesiapan tingkah laku yang disiagakan untuk menghadapi situasi tertentu.

Cattell menyimpulkan dari penelitiannya, bahwa ada persamaan traits antar usia sejak usia 14 tahun sampai dewasa. Tentu saja, untuk tingkat usia yang berbeda harus dibuat instrumen yang berbeda pula. Untuk membuktikan bahwa instrumen itu mengukur faktor atau traits yang sama, Cattell memakai teknik Boundary yaitu mengenakan 2 tes untuk kelompok usia yang berbeda kepada usia yang setara.

 

Referensi :

Alwisol. (2009). Psikologi Kepribadian Edisi Revisi. Malang : UMM Press.


-SEKIAN DAN TERIMA KASIH-

Rifdah Nur Aqilah's Frame

Diberdayakan oleh Blogger.

Aqilah's Frame

All About Me

Happy Cute Box Bear

MENGUPAS ORIENTASI NILAI-NILAI BUDAYA

 MENGUPAS ORIENTASI NILAI-NILAI BUDAYA Rifdah Nur Aqilah (19310410061) Artikel ini dibuat untuk memenuhi Tugas Ilmu Budaya Dasar Program Stu...

Pengikut