MENGUPAS ORIENTASI NILAI-NILAI BUDAYA
Program Studi Psikologi
Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta
Dosen Pengampu : Amin Nurohmah, S.Pd., M.Sc.
Budaya berasal
dari bahasa sansekerta yaitu budhhayah yang artinya budi dan akal manusia. Budaya
ini sangat berkaitan erat dengan kehidupan manusia, karena mencakup adat
istiadat, bahasa, dan segala hal yang digunakan untuk mengatur kehidupan
bermasyarakat. Budaya merupakan suatu pola hidup yang menyeluruh dan kompleks. Dan
setiap budaya memiliki nilai-nilai budaya yang berlaku di masyarakat setempat.
Sistem nilai budaya merupakan tingkat yang paling abstrak dari adat-istiadat, di
mana terdapat konsepsi-kosepsi yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar
warga masyarakat mengenai hal-hal yang harus mereka anggap bernilai dalam
hidup. Sistem nilai budaya ini menjadi pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia.
Sistem tata kelakuan manusia lain yang tingkatnya lebih konkret, seperti
aturan-aturan khusus, hukum dan norma, serta semua hal yang berpedoman pada
sistem nilai budaya itu.
Ada banyak nilai
kebudayaan di setiap budaya yang ada di dunia. Sehingga, nilai kebudayaan itu
bisa berbeda-beda, tetapi pada dasarnya setiap nilai budaya itu memiliki
orientasi nilai budaya yang hampir serupa satu sama lain. Terutama jika kita
melihat masalah dasar dalam hidup manusia, maka orientasi nilai budaya akan
terlihat hampir sama. Kluckhohn dalam Koentjaraningrat (2009) telah
mengembangkan nilai budaya ke dalam 5 masalah yang paling mendasar dalam
kehidupan manusia, diantaranya: a) Masalah hakikat hidup; b) Masalah hakikat
dari karya manusia; c) Masalah hakikat dari kedudukan manusia dalam ruang waktu;
d) Masalah hakikat manusia dari hubungan manusia dengan alam sekitarnya; e) Masalah
hakikat dari hubungan manusia dengan sesamanya. Meskipun cara mengkonsepsikan 5
masalah pokok dalam kehidupan manusia itu universal dan setiap masyarakat atau
kebudayaan itu berbeda-beda, namun di setiap lingkungan masyarakat dan
kebudayaan 5 masalah pokok itu selalu ada.
Yang pertama tentang
masalah hakikat hidup , di mana setiap kebudayaan memiliki perspektif yang
berbeda dalam memandang hakikat hidup. Orientasi orang-orang di kebudayaan
tradisional memandang bahwa hakikatnya hidup manusia itu buruk. Contohnya,
orang yang frustasi karena mengalami kegagalan akan menganggap bahwa hidupnya
sangat menyedihkan, menderita, dan memprihatinkan. Berbeda dengan orientasi orang-orang
di kebudayaan transisi, di mana mereka memandang bahwa hidup itu baik.
Contohnya, orang yang menganggap hidup itu anugerah dan nikmat dari Tuhan akan
lebih sering bersyukur atas segala apa yang terjadi kepadanya. Kemudian, orientasi
orang-orang di kebudayaan modern memandang bahwa hakikat hidup manusia itu
buruk dan sulit tetapi harus diperjuangkan dan berusaha agar hidup bisa lebih
baik. Contohnya, orang yang serba kekurangan akan menganggap hidupnya buruk,
namun ia tetap berpikir optimis, berusaha dan berdoa kepada Tuhannya untuk
hidup yang lebih baik lagi.
Yang kedua
tentang masalah hakikat karya manusia. Orientasi orang-orang di kebudayaan
tradisional memandang bahwa karya manusia itu hakikatnya untuk kelangsungan
hidup. Contohnya, orang yang bekerja mencari nafkah atau harta hanya untuk
bertahan hidup dan memenuhi kebutuhan hidup. Orientasi orang-orang di
kebudayaan transisi memandang bahwa karya manusia itu hakikatnya untuk mendapatkan
kedudukan dan kehormatan. Contohnya, orang yang bekerja demi sebuah pangkat,
jabatan, pujian, dan penghargaan dari masyarakat sekitar. Bukan harta yang dicari
dan dibutuhkan, tetapi status sosial yang dimiliki setiap individu. Kemudian, orientasi
orang-orang di kebudayaan modern memandang bahwa karya manusia itu hakikatnya
untuk menambah karya dan memperbanyak prestasi. Contohnya, orang yang membuat
suatu karya bukan hanya untuk mendapatkan harta dan jabatan, namun untuk mengumpulkan
koleksi karya sehingga dapat memuaskan dirinya sendiri, karena berpikir bahwa
hidup harus menghasilkan banyak karya.
Yang ketiga
tentang masalah hakikat dari kedudukan manusia dalam ruang waktu.Orientasi
orang-orang di kebudayaan modern memandang bahwa kedudukan manusia dalam ruang
waktu pada hakikatnya adalah masa lalu. Contohnya, orang-orang zaman dahulu
biasanya berpedoman pada masa lalunya sebagai standar hidup di masa kini dan
terkadang sulit untuk mengikuti perkembangan zaman. Kemudian, orientasi
orang-orang di kebudayaan transisi memandang bahwa kedudukan manusia dalam
ruang waktu pada hakikatnya adalah masa kini, artinya mereka tidak lagi
memikirkan masa lalu dan tidak mementingkan masa depan. Contohnya, orang yang
memiliki gaya hidup mewah atau suka berfoya-foya biasanya cenderung boros dan
tidak ada manajemen keuangan, sehingga ia menghabiskan hartanya untuk
bersenang-senang di masa kini tanpa memikirkan hidupnya di masa depan seperti
menabung. Orientasi orang-orang di kebudayaan modern memandang bahwa kedudukan
manusia dalam ruang waktu hakikatnya pada masa depan, artinya mereka akan
membuat perencanaan hidup yang matang agar sukses di masa depan. Contohnya,
orang yang sejak dini mulai membiasakan diri untuk menabung demi masa depan
yang layak.
Yang keempat
tentang masalah hakikat dari hubungan manusia dengan alam sekitarnya. Orientasi
orang-orang d kebudayaan tradisional memandang bahwa pada hakikatnya hubungan
manusia dengan alam sekitar itu tunduk pada alam yang dahsyat. Contohnya, orang
yang menerima apa adanya hasil yang disediakan oleh alam, sehingga manusia dituntut
untuk menyerah dan tidak banyak berusaha karena bergantung pada hasil alam. Berbeda
dengan orientasi orang-orang di kebudayaan transisi yang memandang bahwa
hubungan manusia dengan alam sekitar pada hakikatnya adalah selaras dengan
alam. Contohnya, gerakan penanaman pohon untuk mencegah terjadinya banjir. Kemudian,
orientasi orang-orang di kebudayaan modern memandang bahwa hubungan manusia
dengan alam sekitar pada hakikatnya untuk menguasai alam. Contohnya, orang yang
menganggap alam sebagai anugerah dari Tuhan untuk dikuasai manusia. Contoh
lain, orang yang memburu hewan atau tanaman langka demi mendapatkan uang tanpa
memikirkan kepunahan hewan atau tanaman tersebut.
Yang kelima
tentang masalah hakikat dari hubungan manusia dengan sesamanya. Orientasi orang-orang
di kebudayaan tradisional memandang bahwa hubungan manusia dengan sesama pada
hakikatnya itu vertikal, di mana tingkah laku kesehariannya berpedoman pada
tokoh-tokoh pemimpin, senior, dan berpangkat. Contohnya, orang yang
ketergantungan dengan perintah pimpinannya sehingga kurang bersikap inisiatif
dan inovatif. Orientasi orang-orang di kebudayaan transisi memandang bahwa
hubungan manusia dengan sesama pada hakikatnya itu horizontal, di mana antar
sesama manusia akan saling bergantung pada sesamanya. Contohnya, orang-orang
yang berjiwa gotong royong, bersikap saling membantu. Orientasi orang-orang di kebudayaan
modern memandang bahwa hubungan manusia dengan sesama pada hakikatnya itu
individual, di mana mereka selalu berdiri sendiri tanpa membutuhkan bantuan
orang lain untuk mencapai tujuan hidupnya. Contohnya, orang yang selalu
menganggap bahwa semua yang ia lakukan adalah yang terbaik dan terhebat dari
yang lainnya, sehingga biasanya muncul rasa sombong dan iri dengki.
Referensi Gambar:
KajianPustaka.com
Referensi Materi:
Koentjaraningrat. (2009). Pengantar
Ilmu Antropologi. Jakarta: Renika Cipta.